DENPASAR, INFODEWATA.COM – Gencarnya inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Panitia Khusus Penegakan Perda Tata Ruang, Perizinan, dan Aset Daerah (Pansus TRAP) DPRD Provinsi Bali terhadap bangunan di atas lahan hijau belakangan ini mendapat perhatian publik. Sidak tersebut dilakukan di sejumlah titik, mulai dari kawasan resort mewah Samabe Bali Suites & Villas di Nusa Dua, Badung hingga proyek pembangunan villa di kawasan hutan Desa Pajarakan, Buleleng.
Langkah DPRD ini menuai beragam tanggapan. Pengamat isu perkotaan sekaligus akademisi Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa, Gede Maha Putra, menilai upaya sidak tersebut merupakan bentuk respons pemerintah terhadap maraknya alih fungsi lahan yang semakin tak terkendali di Bali.
Menurutnya, fenomena ini mencuat setelah bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Bali pada 10 September 2025 lalu. “Seringkali pelanggaran tata ruang hanya tercatat di atas kertas. Namun setelah banjir terjadi, barulah semua pihak mulai mencari tahu penyebabnya di luar faktor alam. Salah satunya adalah tingginya alih fungsi lahan,” ujarnya, Sabtu (18/10/2025).
Ia menambahkan, banjir besar itu menjadi peringatan keras terhadap buruknya tata kelola ruang, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Momentum ini, katanya, seharusnya dijadikan bahan introspeksi sekaligus evaluasi menyeluruh. “Masalah pelanggaran tata ruang bukan hal baru. Sudah lama terjadi, tapi kesannya dibiarkan karena dianggap tidak berbahaya sampai akhirnya bencana datang,” tegasnya.
Gede Maha menjelaskan, alih fungsi lahan memicu berbagai persoalan seperti kemacetan, penumpukan sampah, biaya infrastruktur tinggi, hingga banjir kecil yang sering diabaikan karena tidak menimbulkan korban jiwa. “Sayangnya, baru dianggap serius ketika bencana besar terjadi dan berdampak pada pariwisata,” katanya.
Terkait pandangan bahwa sidak DPRD hanyalah pencitraan politik, ia menilai hal itu tidak sepenuhnya buruk. “Sidak tetap baik sepanjang dilakukan dengan seksama, teliti, dan bertujuan menegakkan aturan tata ruang serta membela kepentingan masyarakat kecil,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa sidak seharusnya tidak berhenti pada pencarian kesalahan, tetapi menjadi sarana pengumpulan data untuk evaluasi tata ruang secara terukur. “Sidak harus diikuti dengan penyusunan peta jalan pencegahan bencana agar hasilnya berdampak nyata,” imbuhnya.
Gede Maha juga mengingatkan agar sidak tidak dilakukan secara sporadis hanya saat terjadi bencana atau untuk mencari popularitas. “Ruang hidup kita telah berubah menjadi komoditas kapital. Banyak pihak lebih peduli pada nilai properti ketimbang keselamatan lingkungan,” ungkapnya.
Ia menegaskan, jika ditemukan bangunan yang melanggar aturan, langkah tegas seperti pembongkaran harus dilakukan sebagaimana pernah diterapkan di kawasan Pantai Bingin. “Memang pahit, tapi itu perlu demi menegakkan hukum dan menjaga keseimbangan tata ruang di Bali,” tutupnya. (*)