Hukum

Eks Perbekel Bongkasa Divonis 4 Tahun Penjara karena Korupsi Fee Proyek Pura

I Ketut Luki (berbaju putih), mantan Perbekel Bongkasa, duduk di kursi terdakwa saat mendengarkan pembacaan putusan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor Denpasar, Rabu (7/5/2025).
I Ketut Luki (berbaju putih), mantan Perbekel Bongkasa, duduk di kursi terdakwa saat mendengarkan pembacaan putusan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor Denpasar, Rabu (7/5/2025).

DENPASAR, INFO DEWATA – I Ketut Luki, mantan Perbekel Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, resmi divonis empat tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Rabu, 7 Mei 2025. Ia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa permintaan fee proyek kepada kontraktor dalam pembangunan pura.

Ketut Luki terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam amar putusannya, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun serta denda sebesar Rp200 juta. Bila denda tersebut tidak dibayarkan, akan digantikan dengan pidana kurungan selama satu bulan.

Pria Asal Tabanan Nyaris Bunuh Diri di Jembatan Tukad Bangkung, Aparat Cegah Tragedi dan Soroti Isu Kesehatan Mental

Perkara ini menyeret I Ketut Luki (60) sebagai terdakwa utama. Ia didakwa karena secara sengaja meminta uang dari CV. Wana Bhumi Karya, kontraktor yang mengerjakan proyek pembangunan Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kutaraga, salah satu dari tujuh proyek yang didanai melalui BKK (Bantuan Keuangan Khusus) Kabupaten Badung senilai total Rp22,5 miliar.

Permintaan fee terjadi dalam proses pencairan termin kedua proyek pembangunan pura pada Oktober–November 2024. Lokasi penyerahan uang dilakukan di areal parkir utara Komplek Kantor Pemerintah Kabupaten Badung, Sempidi. Saat itu, petugas Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bali telah memantau pergerakan dan akhirnya menangkap Ketut Luki dengan barang bukti uang tunai Rp20 juta di saku celana.

Ketut Luki menggunakan jabatannya untuk menahan proses pencairan dana proyek sebagai alat tekan agar kontraktor memenuhi permintaan pribadinya. Ia meminta Rp20 juta kepada direktur perusahaan, Kadek Dodi Stiawan, dengan dalih kebutuhan pribadi untuk membangun rumah. Meski kontraktor telah memenuhi syarat pencairan, pembayaran ditunda sampai permintaan fee dikabulkan. Tindakan ini masuk dalam kategori penyalahgunaan kekuasaan dengan memaksa orang lain menyerahkan uang yang bukan menjadi haknya.

Perkara ini mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Denpasar pada 10 Februari 2025, dan melalui beberapa tahapan persidangan hingga agenda tuntutan pada 9 April 2025. Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Made Eddy Setiawan menuntut hukuman empat tahun penjara dan denda Rp200 juta, yang kemudian diakomodasi oleh majelis hakim yang diketuai Putu Gede Novyartha bersama dua hakim anggota. Ketut Luki sendiri menyatakan belum menerima putusan dan akan mempertimbangkan untuk mengajukan banding dalam kurun waktu satu minggu ke depan.

Perbuatan Ketut Luki mencerminkan bentuk korupsi klasik dalam pemerintahan desa, yakni penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi. Sesuai Pasal 12 huruf e UU Tipikor, ancaman pidana diberikan kepada pejabat publik yang dalam jabatannya memaksa seseorang memberikan sesuatu. Ini adalah bentuk kejahatan jabatan yang merusak integritas birokrasi desa dan mengancam keberlangsungan program pembangunan berbasis masyarakat. (*)

Bagikan