Ekonomi
Beranda / Ekonomi / Dampak Pariwisata terhadap Lonjakan Harga Tanah di Desa-Desa Bali

Dampak Pariwisata terhadap Lonjakan Harga Tanah di Desa-Desa Bali

Pemandangan sawah di Desa Canggu yang kini mulai berubah menjadi kawasan vila wisata.
Pemandangan sawah di Desa Canggu yang kini mulai berubah menjadi kawasan vila wisata.

BADUNG, INFO DEWATA – Lonjakan pariwisata di Bali pasca-pandemi COVID-19 membawa dampak signifikan, tak hanya pada sektor ekonomi, tetapi juga pada melonjaknya harga tanah di berbagai desa yang sebelumnya relatif tenang dan jauh dari pembangunan masif.

Setelah pembatasan global mereda, Bali menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan mancanegara maupun domestik. Lonjakan ini memicu gelombang investasi di sektor properti, terutama pembangunan vila, homestay, hingga restoran.

Fakta Baru Terungkap: Ini Motif di Balik Tindakan Tragis Ni Kadek MS di Jembatan Tukad Bangkung

Dampaknya, harga tanah yang sebelumnya hanya berkisar Rp200–500 ribu per meter persegi, kini bisa mencapai Rp5–15 juta per meter di desa-desa yang mengalami ledakan wisata.

Masyarakat lokal, terutama generasi muda di desa-desa seperti Canggu, Ubud, dan Amed, kini menghadapi kenyataan bahwa harga tanah di kampung halaman mereka kian melambung. Banyak dari mereka tidak lagi mampu membeli atau mewarisi tanah yang dulunya bernilai rendah.

Desa-desa seperti Pererenan dan Kedungu di Kabupaten Tabanan, serta desa wisata di Karangasem dan Buleleng, kini ikut merasakan efek dari geliat pariwisata. Tidak sedikit sawah dan ladang yang beralih fungsi menjadi lahan pembangunan properti wisata.

Kenaikan harga tanah mulai terasa tajam sejak pertengahan 2022, tepat saat Bali kembali dibuka untuk wisatawan asing. Sejak itu, tren akuisisi lahan oleh investor terus meningkat hingga sekarang.

Selain menstimulasi ekonomi daerah, perkembangan ini juga menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan budaya dan akses generasi muda terhadap kepemilikan lahan.

“Lahan milik orang tua kami sudah habis dijual ke investor. Sekarang harga tanah tak masuk akal bagi kami,” ujar Gede Sutama, warga Desa Tibubeneng.

Pemerintah Provinsi Bali tengah mengkaji regulasi yang lebih ketat terkait kepemilikan dan alih fungsi lahan. Salah satunya adalah memperkuat peran desa adat dan mendorong skema penyewaan tanah dibandingkan jual beli permanen, guna menjaga kepemilikan lahan tetap di tangan masyarakat lokal. (dd)

Wayan Koster Tegaskan Komitmen Pembangunan Bali Utara: Shortcut dan Turyapada Tower Jadi Proyek Strategis 2025

Bagikan