BADUNG, INFO DEWATA – Suasana semarak memenuhi Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, pada Sabtu (3/5/2025) siang. Ribuan krama dari 12 banjar desa adat setempat tumpah ruah mengikuti tradisi budaya sakral Ngerebeg atau yang lebih dikenal sebagai Makotek, sebuah ritual yang telah diwariskan secara turun-temurun sejak era Kerajaan Mengwi.
Tradisi Makotek merupakan bagian dari ritual sakral yang digelar enam bulan sekali, bersamaan dengan perayaan Hari Raya Kuningan. Dalam kegiatan ini, ribuan warga baik anak-anak, remaja, hingga orang tua turun ke jalan membawa batang kayu pulet sepanjang 2-3 meter yang dihiasi tamiang dan daun pandan. Kayu-kayu ini kemudian disatukan membentuk kerucut raksasa sebagai lambang kekuatan dan persatuan masyarakat adat.
Bendesa Adat Munggu, I Made Suwida, menyampaikan bahwa sekitar 4.000 krama desa adat dari 12 banjar ambil bagian dalam pelaksanaan ritual kali ini. Mereka telah berkumpul sejak pukul 13.00 WITA untuk mempersiapkan perlengkapan ritual dan mengikuti rangkaian upacara dari awal hingga akhir.
Seluruh rangkaian tradisi Makotek dipusatkan di kawasan Desa Adat Munggu, tepatnya dimulai dari Pura Puseh desa setempat. Jalanan utama desa pun dipadati peserta dan penonton yang antusias menyaksikan pertunjukan budaya ini.
Tradisi Makotek digelar pada Sabtu, 3 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan dalam kalender Bali. Warga mulai berkumpul sejak siang hari, dan ritual berlangsung hingga sore menjelang petang.
Menurut Bendesa Suwida, tradisi Makotek memiliki akar sejarah yang panjang. Konon, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1700 Masehi pada masa kejayaan Kerajaan Mengwi. Saat itu, para pasukan Taruna Munggu menggelar upacara ini sebagai simbol perlawanan terhadap ancaman musuh yang hendak merebut wilayah Blambangan di Jawa Timur.
“Tradisi ini bukan hanya sekadar budaya, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap leluhur serta pemersatu warga desa. Dalam prosesinya, kami juga menstanakan tamiang kolem dari Pura Puseh sebagai bagian dari penyucian spiritual,” jelas Suwida.
Ritual dimulai dengan persiapan kayu pulet yang dihiasi tamiang. Setelah itu, warga mengikuti prosesi penyucian dan nedunang (menurunkan secara ritual) Tamiang Kolem dari Pura Puseh. Barulah tradisi Makotek dimulai, ditandai dengan benturan ujung-ujung kayu pulet yang disatukan oleh para krama dengan penuh semangat namun tetap menjunjung nilai-nilai kehormatan dan kekompakan.
Tradisi Makotek sendiri pernah dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda karena dianggap berbahaya, namun kembali dihidupkan pada masa kemerdekaan dan kini menjadi salah satu ikon budaya Bali yang sarat makna spiritual dan historis. (*)