BUDAYA, INFO DEWATA – Menjelang perayaan Hari Raya Galungan, umat Hindu di Bali melaksanakan dua upacara penting yang dikenal dengan nama Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Meski sama-sama bermakna penyucian, keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam sasaran dan makna filosofisnya.
Secara etimologis, istilah Sugihan Jawa berasal dari kata “sugi” yang berarti membersihkan dan “Jawa” yang dalam konteks ini dimaknai sebagai “luar”. Dengan demikian, Sugihan Jawa dimaknai sebagai upacara penyucian terhadap Bhuana Agung atau alam semesta baik secara sekala (nampak) maupun niskala (tak kasat mata). Berdasarkan Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa disebut sebagai pasucian dewa, yakni hari penyucian seluruh Bhatara.
Pelaksanaannya difokuskan pada pembersihan tempat-tempat suci seperti pelinggih, pura, lingkungan rumah, serta perlengkapan upacara. Tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antara manusia dengan alam semesta menjelang perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma.
Sementara itu, Sugihan Bali lebih menitikberatkan pada penyucian diri atau Bhuana Alit. Kata “Bali” di sini bukan merujuk pada wilayah, melainkan berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “kekuatan dalam diri”.
Sugihan Bali ditujukan untuk membersihkan jiwa dan raga manusia dari segala kekotoran duniawi. Tradisi ini biasanya dilakukan melalui upacara penglukatan, dengan media seperti bungkak nyuh gading (kelapa gading muda) sebagai sarana pembersihan lahir dan batin.
Menurut ajaran yang tertuang dalam Lontar Sundarigama, Sugihan Bali merupakan kalinggania amrestista raga tawulan, yakni penyucian jasmani dan rohani sebagai bentuk kesiapan diri secara spiritual.
Kedua sugihan ini merupakan bagian dari rangkaian spiritual menuju Hari Raya Galungan. Sugihan Jawa dirayakan setiap Wraspati Wage Wuku Sungsang, diikuti oleh Sugihan Bali pada Sukra Kliwon Wuku Sungsang, atau sehari setelahnya.
Meski memiliki landasan filosofis yang jelas, dalam praktiknya terjadi perbedaan pandangan di tengah masyarakat. Sebagian beranggapan bahwa Sugihan Jawa dilakukan oleh keturunan Majapahit, sedangkan Sugihan Bali oleh masyarakat Bali asli. Namun, pandangan ini dibantah oleh Wakil Ketua I Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si.
“Sesungguhnya kedua sugihan itu tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu rangkaian dalam menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan,” ungkap Sudiana yang juga dosen di STAHN Denpasar.
Ia menjelaskan bahwa perbedaan dalam pelaksanaan lebih kepada kebiasaan yang telah diwariskan secara turun-temurun dan disesuaikan dengan desa kala patra atau konteks lokal masing-masing daerah.
Ia juga menambahkan bahwa tradisi ini sempat dikaitkan dengan kedatangan Dhanghyang Astapaka dan Dhanghyang Nirarta ke Bali, yang turut membawa pengaruh pada praktik keagamaan di Bali.
Sudiana mengajak umat Hindu untuk tidak melihat perbedaan sebagai pemisah, melainkan bentuk keluwesan ajaran Hindu itu sendiri. Yang paling penting, katanya, adalah memahami esensi dan makna dari upacara Sugihan, bukan semata-mata latar belakang sejarah atau garis keturunan.
Kesimpulan
Sugihan Jawa dan Sugihan Bali merupakan dua tahapan penyucian penting menjelang Galungan, masing-masing menyasar makrokosmos dan mikrokosmos. Keduanya saling melengkapi dan sebaiknya dilaksanakan bersama sebagai bentuk kesiapan spiritual menghadapi godaan duniawi menjelang kemenangan Dharma. Meski pelaksanaannya berbeda di tiap daerah, intinya kembali pada keyakinan dan kesadaran masing-masing individu dalam menjaga keseimbangan lahir dan batin.