BADUNG, INFO DEWATA – Gubernur Bali, Wayan Koster, menyampaikan sikap politik tegas terhadap maraknya praktik premanisme yang bersembunyi di balik bendera organisasi kemasyarakatan (Ormas). Dalam peresmian Bale Paruman Adhyaksa dan Bale Restorative Justice di Kabupaten Badung pada Kamis, 8 Mei 2025, Koster menegaskan bahwa Bali tidak membutuhkan ormas-ormas nakal yang mengganggu ketertiban umum dan merusak citra pariwisata.
Dalam pidatonya, Gubernur Koster mengkritik keras perilaku Ormas yang menurutnya hanya menyandang nama organisasi, namun bertindak seperti preman. Ia menyatakan bahwa perilaku semacam itu tidak bisa dibiarkan karena merusak ruang publik, terutama di wilayah strategis seperti Badung yang merupakan jantung pariwisata Bali.
Pernyataan keras tersebut disampaikan langsung oleh Gubernur Bali Wayan Koster, di hadapan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali Ketut Sumedana, Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa, serta tokoh-tokoh adat dan penegak hukum lainnya.
Acara berlangsung di Badung, Bali, pada Kamis, 8 Mei 2025, bertepatan dengan peresmian dua lembaga baru yang berbasis hukum adat Bale Paruman Adhyaksa dan Bale Restorative Justice yang digagas Kejati Bali sebagai bagian dari revitalisasi penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal.
Sikap Gubernur Koster mencerminkan keresahan publik dan arah politik daerah yang tegas terhadap infiltrasi premanisme dalam bentuk baru. Ia menilai bahwa penguatan desa adat dan sistem keamanan lokal seperti Sipandu Beradat, yang melibatkan pecalang, adalah kunci menjaga ketertiban tanpa ketergantungan pada Ormas luar yang kerap membawa agenda tersembunyi.
Pemerintah Provinsi Bali bersama Kejati Bali sepakat memperluas pendekatan hukum berbasis adat sebagai alternatif penyelesaian konflik. Kajati Bali, Ketut Sumedana, menyatakan bahwa Bale Paruman Adhyaksa bukan sekadar seremoni, tetapi bagian dari komitmen menghadirkan keadilan sosial berbasis budaya. Sementara itu, Bupati Badung mendukung penuh langkah ini dan menilai sistem ini efektif menekan potensi kriminalitas dan beban lembaga pemasyarakatan.
“Jangan anggap enteng kekuatan budaya Bali,” tutupnya tegas.
Penegasan Koster menjadi sinyal kuat bahwa pendekatan hukum di Bali kini tidak hanya berorientasi pada represif, tetapi juga preventif dan berbasis nilai budaya. Siapa pun yang menyalahgunakan nama organisasi, menurut Koster, akan berhadapan langsung dengan kekuatan adat dan negara. (*)