TABANAN, INFODEWATA.COM – Sejumlah pemilik bangunan dan petani di kawasan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, melakukan aksi protes dengan memasang lembaran seng di areal persawahan pribadi mereka, Kamis (4/12). Aksi tersebut dilakukan buntut penutupan sejumlah warung oleh Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Tabanan beberapa hari sebelumnya.
Pemasangan seng dilakukan secara serentak dengan cara menancapkannya pada pundukan sawah, sehingga mengganggu pemandangan areal persawahan yang merupakan bagian dari Warisan Budaya Dunia (WBD) UNESCO. Aksi ini menarik perhatian wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih, dan menurut informasi, gerakan serupa berpotensi diikuti petani lain sebagai bentuk solidaritas.
Para pemilik bangunan menilai tindakan penyegelan yang dilakukan pemerintah terkesan tumpang tindih. Mereka mengakui telah menerima Surat Peringatan (SP) dari pemerintah daerah, namun menyampaikan bahwa mereka sudah mengajukan surat rekomendasi ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) terkait pelepasan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) pada area yang dibangun.
Pengajuan tersebut diajukan bersama pada 27 Agustus 2025, setelah mereka menerima SP2 pada 17 Juli 2025. Namun hingga kini belum ada balasan, sementara penutupan sudah dilakukan.
“Sebenarnya SP3 baru kami terima. Ada yang diberikan Rabu, ada yang Kamis pagi. Kami berharap pemerintah memberi rekomendasi, bukan menutup bangunan akomodasi pariwisata yang kami dirikan,” ujar salah satu petani.
Mereka juga meminta pemerintah bersikap adil dan tidak tebang pilih dalam melakukan penertiban bangunan penunjang pariwisata di kawasan Jatiluwih.
Sementara itu, I Nengah Darmika Yasa alias Pak Yogi, pemilik warung yang sebelumnya disegel, menegaskan bahwa pemasangan seng bukan bentuk demonstrasi, melainkan upaya mengingatkan pemerintah agar memberikan keadilan kepada warga. Ia juga membantah tudingan yang menyebut mereka sebagai perusak lingkungan.
“Bukan demonstrasi, ini untuk menyelamatkan WBD Jatiluwih. Kami disebut merusak lingkungan. Lingkungan mana yang kami rusak?” tegasnya.
Yogi menyebut dirinya membangun di lahan pribadi dan rutin membayar pajak rumah makan serta pajak tanah hingga 50 persen dari luas yang dimiliki. Namun, ia kecewa karena tidak ada kompensasi riil dari pemerintah, sementara sumber penghasilan warung menjadi satu-satunya cara agar ia dapat ikut menikmati perkembangan pariwisata di daerahnya.
Senada, pemilik bangunan lain, I Wayan Subadra, mengaku belum mendapat kejelasan soal batas-batas jalur hijau yang ditetapkan pemerintah. Ia mengatakan bangunannya berdiri sejak 2010, jauh sebelum status WBD ditetapkan. Jika bangunan itu ditutup, ia mempertanyakan ke mana keluarganya harus tinggal.
“Saya bangun warung sekaligus tempat tinggal sejak sebelum Jatiluwih jadi WBD. Kalau ditutup, saya tinggal di mana? Saya bangun ini bersama anak untuk masa depannya,” keluhnya. Ia meminta pemerintah membiarkan bangunan yang sudah ada, sementara bangunan baru dapat diatur dengan ketentuan yang diperbarui.
Menanggapi aksi tersebut, Sekda Tabanan Gede Susila mengatakan bahwa apa yang dilakukan masyarakat merupakan bentuk penyampaian aspirasi. Pemerintah, kata dia, akan menyikapi hal tersebut dengan bijak.
“Ya, kita dengarkan dan sikapi dengan bijak, baik oleh Pemkab Tabanan maupun Pemprov Bali,” ujarnya. (*)

