KLUNGKUNG, INFO DEWATA– Sebanyak 21 warga yang sebelumnya dikenai sanksi adat kanorayang akhirnya dievakuasi ke wilayah Klungkung daratan pada Senin (31/3/2025). Pemindahan ini merupakan tindak lanjut dari sanksi yang telah dijatuhkan oleh desa adat sejak 3 Maret lalu, di mana status mereka berubah menjadi krama tamiu atau warga pendatang.
Kanorayang adalah bentuk sanksi adat di Bali yang diberikan kepada individu atau kelompok yang dianggap melanggar aturan desa adat. Dalam kasus ini, sanksi diterapkan kepada sejumlah warga yang terlibat dalam insiden pada Hari Ngembak Geni, sehari setelah Hari Raya Nyepi.
Insiden tersebut, di mana salah satu warga menaikkan kaki ke atas sepeda motor saat upacara adat berlangsung, disebut sebagai pemicu, namun keputusan kanorayang telah diambil sebelumnya akibat pelanggaran lain.
Setelah dikenai sanksi, warga yang terlibat masih diperbolehkan tinggal di rumah mereka, meskipun statusnya telah berubah menjadi krama tamiu. Namun, pada Senin (31/3/2025), desa adat akhirnya mengeksekusi keputusan untuk memindahkan mereka ke Klungkung daratan.
“Peristiwa saat Ngembak Geni itu hanya pemicu. Sebelumnya mereka sudah dikenai kanorayang, tetapi masih tinggal di rumahnya. Baru hari ini mereka dievakuasi ke Klungkung,” ujar seorang tokoh adat setempat.
Pemindahan ini melibatkan koordinasi antara aparat desa adat, pemerintah daerah, serta pihak kepolisian guna memastikan proses berlangsung tanpa kendala.
Sanksi kanorayang menimbulkan berbagai implikasi, terutama terkait hak-hak sipil warga yang dikenai hukuman. Meskipun adat memiliki kekuatan hukum dalam tatanan masyarakat Bali, penerapannya harus selaras dengan prinsip hak asasi manusia serta regulasi nasional.
Pengamat hukum adat, I Made Suardika, menyoroti pentingnya keseimbangan antara hukum adat dan hukum negara.
“Sanksi adat seperti kanorayang harus mempertimbangkan aspek legalitas dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Warga yang dikenai sanksi tetap memiliki hak dasar, termasuk tempat tinggal dan perlindungan hukum,” jelasnya.
Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah daerah terkait intervensi terhadap keputusan adat tersebut. Namun, kasus ini kembali menyoroti batasan antara kewenangan desa adat dan perlindungan hak warga dalam sistem hukum nasional.
Dengan pemindahan ini, para warga yang terkena sanksi harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka di Klungkung daratan, sementara perdebatan hukum terkait pelaksanaan sanksi adat masih terus berlangsung. (*)